15 March 2014

I thank You Sutomo 2 Medan

Gedung Sutomo 2 Medan. Aslinya lebih luas daripada ini
Ketika berbicara sekolah, gue selalu inget sama sekolah gue yang satu ini Yayasan Perguruan Sutomo II, Medan.

Entahlah... karena atmosfir nya, siswa nya, guru nya atau jajanan kantinnya...

Yayasan Perguruan Sutomo adalah sekolah yang paling terkenal di kalangan Tionghua Medan. Pada masa itu, sebagian besar etnis tionghua medan, ingin sekali anak-anaknya mengenyam pendidikan disini. Maka enggak heran bila 80% siswa nya merupakan warga keturunan.

Gue sendiri berjuang cukup keras untuk bisa bersekolah disini. Gue diharuskan menghapal perkalian 1 sampai 10 kalau mau berhasil tes masuk. Padahal saat itu gue baru lulus TK!Gue sama sekali belum ngerti tentang perkalian. Apalagi harus hapal sampai 10x10?? 
Thank God I passed the test. Kalo kata Sailormoon, "Ini keajaiban alam. Akupun mempercayai nya" :p

Gue masih inget banget hari pertama gue sekolah di sana.
Bangku dan meja kayu berjejer rapi, papan tulis kayu dan kapur warna-warni, bau baju seragam baru yang memenuhi ruangan kelas, serta bedak sebagian anak perempuan luntur karena menangis ditinggal ibu nya. Setiap jenjang pendidikan di sekolah ini punya 6 kelas, dengan rata-rata 45 orang murid di setiap kelasnya. Gue menempati kelas 1-5 saat itu. Tempat duduk kami diatur oleh wali kelas, anak perempuan tidak boleh duduk dengan perempuan, begitu juga anak laki-laki.
Semua temen sekelas gue adalah keturunan Tionghua. Mereka berbicara dalam bahasa Hokkian ketika berada di dalam kelas. Lost in translation itu sih udah pasti. Gue sama sekali nggak ngerti bahasa mereka, namun mereka pun tidak becus dalam berbahasa indonesia. Terkadang gue merasa dikucilkan, mereka menyebut gue “hwana” yang berarti pribumi dalam bahasa hokkian. Sebutan hwana sama saja seperti sebutan “Cina” dari kita untuk mereka. Gue lupa bagaimana dan berapa lama gue bisa beradaptasi dengan mereka. Yang gue inget sekarang, mereka adalah teman-teman yang setia kawan, baik, dan manis, sama seperti kita.

Kurang lebih kayak gini deh kira-kira temen-temen gue dulu
Tak lama kemudian, seorang perempuan dengan rambut bondol dan rok span abu-abu memasuki kelas.Namanya Bu Sunny, yang berarti Matahari.Tapi Percayalah! Saat beliau memasuki kelas, suasana kelas tidak akan secerah namanya. Beliau adalah wali kelas gue. Beliau mengajar Matematika dan selalu membawa rotan tipis ketika mengajar. Guru disini galak-galak. Sebagian besar mereka memang mempersenjatai diri mereka dengan rotan ketika mengajar. Enggak, mereka bukan takut dikeroyok rame-rame sama anak ingusan macam kita, tapi memang begitulah cara mereka mengajar. Tangan gue udah sering banget kena hajar rotan. Itu pasti gara-gara gue lupa bawa buku PR, nilai gue 60 ke bawah,lupa ngerjain PR atau enggak bisa menjawab pertanyaan guru. Saking seringnya kena pukul rotan, gue sampe tau karakteristik rotan gue-guru gue. Bu Rohanna biasanya bawa rotan tebel, kalo buat mukul rasanya sakit,tapi sakitnya Cuma sebentar. Guru bahasa Inggris(yang gue lupa namanya) biasanya bawa rotan tipis, tipiisssss banget, dan jenis rotan ini adalah rotan yang paling pedes kalo kena tangan.Sakitnya gak ilang-ilang broh! 

Alat penyiksaan jaman sekolah.
Kiri: Rotannya bu Rohanna

Sampai gue kelas 1 SMP, peruntungan belum berubah, gue masih sering dipukul guru. Gue paling sering dipukul sama guru matematika dan fisika. Kayaknya emang dari kecil gue udah bermasalah sama pelajaran eksak. Guru fisika gue berkacamata, nggak begitu tinggi, usia nya masih 24 tahun ketika mengajar,namanya Wei Ming. Pak Wei Ming nggak pernah bawa rotan ketika mengajar, tapi dia menggunakan penghapus papan tulis kayu untuk menghajar muridnya. Yang dihajar pastinya bukan telapak tangan, tapi kuku tangan. Dan untuk menambah kedhasyatan rasa sakitnya, kita harus menguncupkan tangan kita ketika dipukul.Too bad, ada satu orang temen gue yang kukunya sampe lepas abis dihajar penghapus pak Wei Ming. Gue nggak pernah absen dihajar sama dia, karena nilai pelajaran fisika gue nggak pernah diatas 50.  Itulah kenapa gue nggak pernah memanjangkan kuku gue. Untuk meredam rasa sakit. Tapi abis itu jari gue biru-biru :(


Rumus eksak ala Pak Wei Ming
Tangan kuncup + Penghapus kayu = Kuku Patah
Lain Pak Wei Ming, lain pula Pak Asiang (guru matematika gue) sampai sekarang hukuman dia buat gue itu yang paling membekas dan inget banget sampe sekarang.

“Kamu kira karena kamu cucunya pemilik yayasan saya gak berani sama kamu? hah???!!!!” Teriak pak Asiang di sebuah kelas kosong saat gue ketauan nggak ngumpulin buku tugas.

 “Sumpah pak! Saya bukan cucunya ketua yayasan” Jawab gue gemeteran

PLAK!

Sebuah kamus bersampul merah sukses mendarat di pipi kanan gue.Pak Asiang sepertinya enggak suka kalo gue ngejawab. Atau mungkin semalem dia nggak diberi cium sama pacarnya. I dont know

Sakit. Sakit banget. Saking sakitnya kuping kanan gue masih bunyi “nguing” di perjalanan pulang ke rumah. Nangis? Enggak. Gue enggak nangis. Entah karena udah kebal, malu, atau gengsi.

Kelas 2 SMP gue udah enggak pernah dapet hukuman fisik kayak gitu lagi. Gue pindah ke Jakarta. Di sekolah baru ini, Gue bebas se bebas-bebasnya. Mau ngerjain PR atau nggak, Mau nilai dibawah 5 atau 100 sekalipun. Semuanya terserah.



Lalu secara mengejutkan, gue bisa ngerjain ulangan serta tugas eksak dan non eksak dengan mudah. Enngak. Gue nggak minum ramuan ajaib dan tiba-tiba jadi pinter. Believe it or not, itu karena semua pelajaran di sekolah baru ini sudah gue pelajari di Sekolah gue yang dulu. :)




No comments:

Post a Comment